Mungkin tulisan ini tidak akan pernah pernah kamu baca, karena seingatku kamu sedang marah.
Namun percayalah, itu jauh dari cukup untuk membuat aku menyerah.
Seingat aku, cinta kita ini besar. Lebih tinggi dari selasar. Kita pernah saling melupakan, masing-masing mencoba jalan yang lain, dan berakhir tersasar. Kita, akhirnya saling mengingatkan, mengikuti setitik demi setitik cahaya hati yang menyerupai menara suar.
Seingat aku, sayang kita ini agung. Lebih indah dari lembayung. Kita pernah saling menghilangkan, masing-masing mencari lautan baru untuk dilarung, berakhir terkatung-katung. Kita, akhirnya saling menyelamatkan dari gelap dan dalamnya palung.
Seingat aku, rindu kita ini suci. Lebih murni dari embun pagi. Kita pernah saling membuat luka, masing-masing mencari penawar untuk obati. Kita, akhirnya saling memperjuangkan kembali, selangkah demi selangkah lewati panasnya yang melebihi Kalahari.
Seingat aku, kasih kita ini kuat. Lebih luar biasa dari Angkor Wat. Kita pernah saling meninggalkan, masing-masing mengikuti cahaya yang salah kemudian tersesat. Kita, akhirnya saling menemukan, membebaskan diri dari mereka yang hanya sesaat.
Tentang kita, memang selalu sedahsyat itu.
Kita pernah merajut mimpi-mimpi itu. Mimpi yang dulu pernah sama-sama kita amini, yang bodohnya aku hancurkan sendiri. Namun kini kesempatan itu muncul lagi. Yang aku lakukan pertama kali, adalah mengingat sedigdaya apa cinta ini.
Aku tidak pernah menginginkan asa yang hebat itu dirusak kerikil kecil prasangka, dihancurkan duri remeh dusta, dan digoyahkan sembilu tajam angkara. Bahkan butuh lebih dari maut untuk memisahkan kita.
Percayalah, hati, lebih dari ini pernah kita lalui. Jangan henti di sini.
Kita lebih tangguh dari ini. Ayolah. Aku tahu benar akan hal itu.
Sayang, badai ini akan terus datang. Yang harus kita lakukan bukanlah menunggu badai reda, tapi genggamlah tanganku, mari sama-sama menari lewati hujan.
Untuk “G.T”,
dengan cinta.